Senin, 01 November 2010

observasi perilaku bermain anak

A. Landasan Teori

Menurut Hurlock (1978) bermain merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak da paksaan atau tekanan dari luar. Piaget menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional. Menurut Bettelheim kegiatan bermain ialah kegiatan yang tidak mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan oleh pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luas.

B. Tahapan Pelaksanaan Observasi

  1. Tujuan Observasi : untuk melihat perilaku bermain pada anak usia 2-3 tahun
  2. Perilaku yang di observasi : perilaku bermain seorang anak

3. Definisi konseptual : Bermain adalah suatu aktivitas yang mengasikkan dan menyenangkan karena memuaskan dorongan penjelajahan anak. Dorongan ini meliputi keingin tahuan dan hasrat akan informasi tentang suatu yang baru atau tidak biasa. Bermain mendorong perilaku penjelajahan dengan menawarkan anak-anak pada kemungkinan-kemungkinan kebaruan (novelty), kompleksifitas, ketidak pastian, kejutan, dan keanehan. (Daniel Berlyne, 1960)

4. Definisi operasional : Ada beberapa kategori permainan menurut studi klasik permainan Parten (1932) antara lain :

1) Unoccupied Play : anak bermain sendirian (tidak terlibat dalam permainan dengan anak lain); mungkin berada di suatu titik; memandang ke sekitarnya ; melakukan gerakan-gerakan acak yang nampaknya tidak bertujuan.

2) Solitary Play : anak bermain sendirian dan tidak banyak perduli pada keadaan sekitar atau keberadaan orang lain.

3) Onlooker Play : anak menonton orang lain bermain.

4) Parallel Play : anak bermain terpisah dari teman-temannya, tapi menggunakan mainan yang sama seperti yang digunakan teman-temannya atau dengan cara meniru cara bermain temannya.

5) Associative Play : permainan melibatkan interaksi sosial dengan sedikit atau tanpa aturan.

6) Cooperative Play : Interaksi sosial di dalam suatu kelompok yang telah memiliki rasa identitas kelompok dan terdapat aturan-aturan yang jelas dalam permainan.

5. Metode observasi : Indirect – non intervensi – non partisipan

6. Setting observasi :

· Tempat : Lapangan Kodam V Brawijaya Surabaya

· Waktu : Sore hari

· Yang diamati : Perilaku bermain seorang anak usia 2-3 tahun

· Who : Dua Observer (Ayunda dan Nindya)

· Bagaimana : Check list, dicatat pada form. Pencatatan.

7. Jumlah observer : Dua observer

8. Teknik pencatatan : Checklist

9. Format Pencatatan

No

Target Perilaku

Keterangan

Muncul

Tidak Muncul

1.

Bermain sendirian

2.

Melihat keadaan sekelilingnya

3.

Melakukan gerakan-gerakan tubuh

a. melompat

b. mengayunkan kaki

c. berdiri

d. berjalan

e. berlari

f. menaiki sesuatu

g. tertawa

h. memeluk

4.

Melihat aktivitas anak lain

5.

Bermain dengan alat permainan

6.

Meniru cara bermain anak lain

7.

Meminjam mainan anak lain

8.

Bermain dengan orang lain

9.

Bermain dalam kelompok

10.

Mengikuti aturan permainan

Kesimpulan :

Dari hasil observasi inter rater (Ayunda dan Nindya) dapat disimpulakan bahwa terdapat beberapa indikator perilaku yang muncul dari subjek pada saat ia bermain. Indikator perilaku tersebut diantaranya : bermain sendirian, melihat keadaan sekeliling, melakukan gerakan tubuh (melompat, mengayunkan kaki, berdiri, menaiki sesuatu, tertawa), melihat aktivitas anak lain.

Jika dikembalikan pada kategori permainan menurut studi klasik permainan Parten, maka subjek dapat dikatakan sedang melakukan permainan kategori Unoccupied play. Hal ini dikarenakan subjek terlihat sedang bermain sendirian (tidak terlibat dalam permainan dengan anak lain); berada di satu tempat tertentu dalam waktu yang lama; memandang ke sekitarnya ; melakukan gerakan-gerakan acak (melompat, mengayunkan kaki, berdiri, menaiki sesuatu, tertawa), yang nampaknya tidak bertujuan

Cara Berfikir Seorang Peneliti Psikologi

  1. Skeptis terhadap pernyataan tentang penyebab perilaku dan proses mental, maupun pernyataan yang didasari oleh temuan-temuan ilmiah yang telah dipublikasikan. Skeptisisme atau mempertanyakan, ketidakpercayaan (dalam penggunaan umumnya adalah untuk melihat sekitar, untuk mempertimbangkan) jika dilihat dari kata perbedaan ejaan kata merujuk kepada:

· suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek tertentu;

· doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau

· metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (Merriam-Webster).

Dalam filsafat, mempertanyakan adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:

· sebuah pertanyaan,

· metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,

· kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral,

· keterbatasan pengetahuan,

· metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.

Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.

  1. Bersandar pada bukti-bukti yang konvergen terhadap sebuah pernyataan tentang perilaku.

Dalam berfikir atau memahami sesuatu, seorang ilmuwan psikologi hendaknya mencari bukti-bukti yang mendukung hasil pemikirannya. Bukti-bukti tersebut sebaiknya berifat konvergen, yaitu bukti-bukti yang spesifik tentang suatu hal, sehingga hal tesebut tidak dapat disangkal lagi.

  1. Untuk menjelaskan secara tentatif harus dinyatakan dalam hipotesis.

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang kan diteliti. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut. Dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan/ menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori.

  1. Untuk mencari jawaban harus menggunakan pendekatan multimetode.

Dalam mencari jawaban atas sebuah permasalahan, seorang ilmuwan psikologi harus menggunakan berbagai pendekatan agar jawaban yang diperoleh lebih akurat. Metode yang dapat digunakan antara lain observasi dan wawancara.

· Observasi

Istilah observasi di arahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam sebuah fenomena.

· Wawancara

merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dimana sang pewawancara melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang diwawancarai.

norma dalam psikometri

A. Pengertian dan Jenis Norma

Norma adalah penyebaran skor-skor dari suatu kelompok yang digunakan sebagai patokan untuk memberi makna pada skor-skor individu. Terdapat dua jenis norma, yaitu:

1. Norma perkembangan; digunakan untuk menginterpretasikan skor-skor pada tes-tes perkembangan. Norma perkembangan dibagi menjadi mental age, basal age, nilai rata-rata yang diperoleh kelompok umur tertentu, skala ordinal, criterion referenced testing, expectancy tables.

2. Norma kelompok (within-group norms); digunakan untuk mengetahui posisi subjek dalam distribusi sample normative. Sample normative adalah skor subjek dibandingkan dengan skor kelompok. Saat peneliti hendak menggambarkan posisi individu dengan cara membandingkan antar kemampuan dan kelompok, raw score harus ditransformasikan ke dalam skala yang sama. Macam-macam skala:

o percentile rank

o standard score, yang dibagi menjadi: z-score, t-scale, c-scale, stanine, deviation IQ.

B. Contoh norma :

Nilai Ujian Akhir Semester mata kulia psikometri di kelas B adalah 43, 47, 51, 55, 56, 64, 70, 72, 78, dan 81.

No.

Nama

Nilai

µ

µ2

1.

A

43

-18,7

349,69

2.

B

47

-14,7

216,09

3.

C

51

-10,7

114,49

4.

D

55

-6,7

44,89

5.

E

56

-5,7

32,49

6.

F

64

2,3

5,29

7.

G

70

8,3

68,89

8.

H

72

10,3

106,09

9.

I

78

16,3

265,69

10.

J

81

19,3

372,49

617

1576,1

x

61,7

SD = √∑( µ2)/ N

= √1576,1/ 10

= √157,61

= 12,55

Soal :

    1. Mengapa norma diperlukan dalam pengukuran psikologi?
    2. Jelaskan dua macam norma dan jelaskan perbedaan diantara keduanya!
    3. Salinlah atau berikan contoh norma tes yang anda ketahui dan jelaskan jenisnya!

Jawaban:

  1. Norma diperlukan dalam pengukuran psikologi, karena Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut. Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang. Seseorang yang dikatakan telah lulus berarti bisa melakukan apa yang terdapat dalam kriteria yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Acuan kriteria, ini biasanya dipergunakan untuk ujian-ujian praktek. Dengan adanya acuan norma atau kriteria, hasil yang sama yang didapat dari pengukuran ataupun penilaian akan dapat diinterpretasikan berbeda sesuai dengan acuan yang digunakan
  2. Macam-macam norma :

Terdapat dua macam norma. Pendekatan penilaian yang membandingkan hasil pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang diperoleh orang – orang lain dalam kelompoknya, dinamakan Penilaian Acuan Norma (Norm – Refeereced Evaluation). Dan pendekatan penilaian yang menbanding hasil pengukuran seseorang dengan patokan “batas lulus” yang telah ditetapkan, dinamakan penilaian Acuan Patokan (Criterian – refenced Evaluation).

1. Penilaian Acuan Norma (PAN)

PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil nilai suatu tes terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan pembanding semata–mata diambil dari kenyataan–kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/penilaian itu berlangsung, yaitu hasil tes yang diukur itu beserta pengolahannya, penilaian ataupun patokan yang terletak diluar hasil–hasil pengukuran kelompok manusia.

PAN pada dasarnya mempergunakan kurve normal dan hasil–hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya. Kurve ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada didalam “kurve Normal” yang dipakai untuk membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh ialah angka rata- rata (mean) dan angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau kebawah sesuai dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam kurve itu. Dengan kata ain, patokan itu dapat berubah–ubah dari “kurve normal” yang satu ke “kurve normal” yang lain. Jika hasil ujian mahasiswa dalam satu kelompok pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu pada umumnya merosot, patokannya bergeser kebawah (diturunkan). Dengan demikian, angka yang sama pada dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.

2. Penilaian Acuan Patokan (PAP)

PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan hasil suatu tes terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan pada PAN.

Dalam konteks pendidikan, patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Hasil tes yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh tingkat yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu.

Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan. Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.

  1. Norma tes

· Jenis norma tes

a. Criterion Reference Test (CRT)

Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. Joesmani menyebutnya dengan didasarkan pada kriteria atau standard khusus. Dimaksudkan untuk mendapat gambaran yang jelas tentang performan peserta tes dengan tanpa memperhatikan bagaimana performan tersebut dibandingkan dengan performan yang lain. Dengan kata lain tes acuan kriteria digunakan untuk menyeleksi (secara pasti) status individual berkenaan dengan (mengenai) domain perilaku yang ditetapkan / dirumuskan dengan baik.

Pada pendekatan acuan patokan, standar performan yang digunakan adalah standar absolut. Semiawan menyebutnya sebagai standar mutu yang mutlak. Criterion-referenced interpretation is an absolut rather than relative interpetation, referenced to a defined body of learner behaviors. Dalam standar ini penentuan tingkatan (grade) didasarkan pada sekor-sekor yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk persentase. Untuk mendapatkan nilai A atau B, seorang siswa harus mendapatkan sekor tertentu sesuai dengan batas yang telah ditetapkan tanpa terpengaruh oleh performan (sekor) yang diperoleh siswa lain dalam kelasnya. Salah satu kelemahan dalam menggunakan standar absolut adalah sekor siswa bergantung pada tingkat kesulitan tes yang mereka terima. Artinya apabila tes yang diterima siswa mudah akan sangat mungkin para siswa mendapatkan nilai A atau B, dan sebaliknya apabila tes tersebut terlalu sulit untuk diselesaikan, maka kemungkinan untuk mendapat nilai A atau B menjadi sangat kecil. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan memperhatikan secara ketat tujuan yang akan diukur tingkat pencapaiannya.

Dalam menginterpretasi skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan PAP, maka terlebih dahulu ditentukan kriteria kelulusan dengan batas-batas nilai kelulusan. Umumnya kriteria nilai yang digunakan dalam bentuk rentang skor berikut:

Rentang Skor Nilai

80% s.d. 100% A

70% s.d. 79% B

60% s.d. 69% C

45% s.d. 59% D

<>

b. Norm Reference Test (NRT)

Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang besar. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes dalam hubungannya dengan performans kelompok peserta yang lain yang telah mengikuti tes. Tes acuan kriteria Perbedaan lain yang mendasar antara pendekatan acuan norma dan pendekatan acuan patokan adalah pada standar performan yang digunakan.

Pada pendekatan acuan norma standar performan yang digunakan bersifat relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompoknya; Tinggi rendahnya performan seorang siswa sangat bergantung pada kondisi performan kelompoknya. Dengan kata lain standar pengukuran yang digunakan ialah norma kelompok. Salah satu keuntungan dari standar relatif ini adalah penempatan sekor (performan) siswa dilakukan tanpa memandang kesulitan suatu tes secara teliti. Kekurangan dari penggunaan standar relatif diantaranya adalah (1) dianggap tidak adil, karena bagi mereka yang berada di kelas yang memiliki sekor yang tinggi, harus berusaha mendapatkan sekor yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai A atau B. Situasi seperti ini menjadi baik bagi motivasi beberapa siswa. (2) standar relatif membuat terjadinya persaingan yang kurang sehat diantara para siswa, karena pada saat seorang atau sekelompok siswa mendapat nilai A akan mengurangi kesempatan pada yang lain untuk mendapatkannya.

Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang besar. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes dalam hubungannya dengan performans kelompok peserta yang lain yang telah mengikuti tes. Tes acuan kriteria Perbedaan lain yang mendasar antara pendekatan acuan norma dan pendekatan acuan patokan adalah pada standar performan yang digunakan. Pada pendekatan acuan norma standar performan yang digunakan bersifat

relatif

. Artinya tingkat performan seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompoknya; Tinggi rendahnya performan seorang siswa sangat bergantung pada kondisi performan kelompoknya. Dengan kata lain standar pengukuran yang digunakan ialah norma kelompok. Salah satu keuntungan dari standar relatif ini adalah penempatan sekor (performan) siswa dilakukan tanpa memandang kesulitan suatu tes secara teliti. Kekurangan dari penggunaan standar relatif diantaranya adalah (1) dianggap tidak adil, karena bagi mereka yang berada di kelas yang memiliki sekor yang tinggi, harus berusaha mendapatkan sekor yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai A atau B. Situasi seperti ini menjadi baik bagi motivasi beberapa siswa. (2) standar relatif membuat terjadinya persaingan yang kurang sehat diantara para siswa, karena pada saat seorang atau sekelompok siswa mendapat nilai A akan mengurangi kesempatan pada yang lain untuk mendapatkannya.

Contoh:

Satu kelompok peserta tes terdiri dari 9 orang mendapat skor mentah:

50, 45, 45, 40, 40, 40, 35, 35, 30

Dengan menggunakan pendekatan PAN, maka peserta tes yang mendapat skor tertinggi (50) akan mendapat nilai tertinggi, misalnya 10, sedangkan mereka yang mendapat skor di bawahnya akan mendapat nilai secara proporsional, yaitu 9, 9, 8, 8, 8, 7, 7, 6 Penentuan nilai dengan skor di atas dapat juga dihitung terlebih dahulu persentase jawaban benar. Kemudian kepada persentase tertinggi diberikan nilai tertingg

· Contoh norma tes

Daftar Pustaka

Anastasi, A. (1990). Psychological testing (6th ed). New York: Macmillan